Lika-liku Gojek part 2

Malam kemarin, saya kembali ke Bandung dan mengejar waktu agar tiba di travel tepat waktu. Jadi, saya memutuskan untuk menggunakan jasa Gojek.

Pada artikel saya terdahulu yang membahas tentang Gojek, sempat ada cerita tentang betapa sulitnya driver Gojek untuk menyembunyikan identitasnya agar tidak “dikerjain” oleh driver ojek pangkalan dan kekhawatiran driver Gojek tentang keharusan untuk menggunakan atribut Gojeknya.

Kali ini, driver Gojek sudah memakai jaket dan memberikan helm Gojek. Penasaran, saya bertanya kepada bapak Gojek tentang keamanan mereka ketika menggunakan atribut Gojek dalam memberi pelayanan.

Mengejutkan! Pada awal penggunaan atribut Gojek, salah satu driver Gojek yang pada saat itu sedang membawa pelanggannya, diserang oleh driver ojek pangkalan di depan sebuah supermarket di tengah jalan besar. Ia dikeroyok dan dipukul menggunakan kayu, pelanggannya pun tak luput menjadi sasaran serangan itu. Driver Gojek tersebut akhirnya mengalami gegar otak dan pelanggannya juga mengalami luka-luka.

Setelah kejadian tersebut, sebagian besar driver Gojek melakukan konvoi melintasi jalan yang menjadi tempat kejadian perkara. Bukan, konvoi tersebut bukan bermaksud untuk melakukan serangan balasan. Hanya untuk menunjukkan solidaritas di antara driver Gojek.

Beberapa saat setelah konvoi tersebut, diadakanlah pertemuan antara kepolisian, pihak Gojek, dan para driver ojek jalanan. Singkat cerita, dicapailah kesepakatan untuk tetap bersatu dan tidak saling bermusuhan karena semuanya sama-sama orang Bandung, orang Sunda. Pelaku pengeroyokan pun dipenjarakan.

Kini, driver Gojek dapat melayani pelanggan tanpa rasa cemas dan takut. Perdamaian memang selalu indah dan memenangkan semua.

Sharing the same path

Salah satu dukungan yang dapat diperoleh dari kelompok swabantu (self-help) adalah edukasi. Edukasi terdiri dari informasi praktis, teknik koping yang berhasil, dan “pengetahuan berdasarkan pengalaman” yang dikumpulkan ketika anggota sedang berbagi pengalaman (O’Brien et al., 2008; Psychiatric mental health nursing: an introduction to theory and practice).

Saya menyunting buku tersebut dan memang menggemari ilmu keperawatan jiwa. Namun, memang benar salah satu quote yang pernah saya baca yang mengatakan bahwa seseorang harus mengalami suatu kondisi untuk dapat memperoleh pelajaran dari kondisi tersebut.

Sore tadi, saya sempat berbincang dengan salah seorang rekan kerja di kantor. Guess what? Dia punya pengalaman hidup yang sama dengan saya, ditinggalkan oleh pasangan untuk selamanya (yup.. Meninggal).

Kami akhirnya berbincang mulai dari awal perkenalan dengan pasangan hingga penyebab mereka meninggal. Mulai dari proses berduka hingga akhirnya dapat menerima. Mulai dari kehilangan diri sendiri hingga menemukannya kembali. Mulai dari koping hingga kisah saat ini.

Dia lebih cepat menerima dan mengikhlaskan kepergian pasangannya dibanding saya. Persamaan kami adalah kami dapat bangkit kembali karena Tuhan mempertemukan kami dengan seseorang yang dapat menyadarkan kami untuk tidak lagi meratapi kepergian pasangan.

Saya sibuk bercerita pada setiap sahabat yang saya temui setelah kepergian pasangan dan dia yang hanya berdiam diri dan mengendapkan pikiran dan perasaannya. Saya yang masih saja menganggap pasangan ada (bahkan “berbicara” dengan pasangan) ketika sidang skripsi dan dia yang juga kadang seakan sedang berbicara dengan pasangannya.

Kami mengalami hal yang sama, menghadapi kehilangan yang serupa. Meskipun begitu, saya tetap berpendapat bahwa luka yang sama tidak akan memberikan rasa sakit yang sama pada masing-masing individu. Jadi, tentu saja “rasa sakit” kami berbeda meski “lukanya” serupa.

Perbincangan saya sore tadi mengingatkan saya pada teori (di awal tulisan ini) di buku yang saya sunting. Saling berbagi pengalaman dengan seseorang yang memiliki pengalaman yang sama dengan kita dapat membantu meringankan dan mencari koping yang sesuai bagi diri.

Tanpa meniadakan atau tidak menghargai empati dari semua orang terdekat saya, saya bersyukur karena dapat berbagi dengan rekan kerja saya. Dia melalui tikungan hidup yang sama dengan saya sehingga rasanya dia sedikit banyak dapat mengerti apa yang saya alami.

Saat ini, kami sudah dapat melaluinya, tetapi cinta tersebut tetap ada di hati. Saat ini, kami sudah bertemu dengan orang lain yang dapat mengisi kembali hari-hari kami, teman berbagi, dan semoga menjadi mitra hidup kami (meski dalam kisah saya, kini orang itu tidak lagi bersama saya). Ya, saya bercerita tentang orang yang dapat memahami saya, kamu.