Sabtu pagi menjelang siang lalu, sebuah lomba mewarnai tingkat TK dan SD diadakan di sebuah pusat perbelanjaan yang sudah lama berdiri di kota kecil. Tidak lagi ramai, beragam lomba anak diadakan dengan tujuan untuk menghidupkan lagi tempat belanja tersebut.
Pendaftaran dapat dilakukan jauh hari sebelum lomba dimulai, tetapi membludaknya peserta di hari H membuat peraturan tersebut gugur. Sekelompok anak telah menempati posisi, tentu ditentukan oleh orangtuanya (terutama ibu). Beberapa pasang anak-orangtua yang datang belakangan pun tampak melompati peserta lain yang sudah lebih dulu datang, berupaya agar mendapat tempat di depan. Saya, tidak terlalu paham tentang posisi tsb; apakah kemudian yang terdepan akan menang? Mungkin orangtua sudah terbiasa dengan “depan berarti prestasi” atau “depan berarti privilese”.
Lucunya, panitia sudah menetapkan batas area yang dapat ditempati anak untuk mengikuti lomba. Orangtua yang sudah datang malah memenuhi area samping, melewati batas penunggu. Apa kiranya alasan mereka? Setelah saya amati, ya beragam; mendokumentasikan anak yang ikut lomba melalui foto atau video, agar selalu berada di dekat anak, mengatur-atur anak (bahkan hingga mengatur di mana pensil harus diletakkan), dan agar dapat melihat anaknya berlomba. Seakan anak tidak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri, padahal ketika diberi instruksi oleh panitia dapat mengikutinya secara tertib. Seolah anak tidak dipercaya dapat mengikuti aturan yang berlaku.
Orangtua-orangtua tsb susah sekali untuk mematuhi peraturan batas area penunggu. Pak satpam yang turun tangan menegur pun hanya dianggap angin lalu. Kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara ibu yang mengatur posisi anak-anak didiknya dan ibu yang tidak mau keluar dari area lomba. Mereka sempat meninggikan suara, pembuluh vena jugular pun tampak menegang di area leher. Duh, runyam sudah. Jam lomba yang diundur akibat ketidaksiapan panitia yang tidak menyangka akan terjadi pembludakan peserta hingga ibu-ibu yang bersitegang menjadi sumber stresor anak-anak yang akan berlomba.
Sepanjang lomba, ibu-ibu yang antusias ini tetap berada di area lomba. Padahal, waktu lomba kurang lebih satu jam. Lumayan untuk melatih kemandirian anak dan membebaskannya dari suara-suara perintah yang menekan kreativitasnya. Sungguh, saya tidak mengerti dengan ibu-ibu itu. Bahkan, ada pula ibu yang membantu anaknya mewarnai, lalu di mana sisi kebebasan anak untuk menjadi kreatif dan memampukan diri menghadapi persaingan secara mandiri? Sampai sini, saya semakin bingung dengan tujuan lomba dan tujuan ibu-ibu mengikutsertakan anaknya dalam lomba
Ekspresi anak-anak pun bercerita banyak. Muka datar hingga ketakutan (ironis memang) membuat beragam rasa negatif menyebar di udara, acara anak-anak yang semestinya menyeruakkan keceriaan lebih terasa seperti dunia kecil persaingan keinginan ibu-ibu terhadap anak. Namun, untungnya, masih ada juga anak-anak yang mengikuti lomba tanpa beban.
Saya? Ketika itu mengantar keponakan yang melihat pamflet pendaftaran lomba beberapa hari sebelumnya setelah kami menonton film di bioskop. Ia antusias sekali maka kenapa tidak? Tanpa membawa meja lipat, ia menjadi salah satu dari 3 anak golongan minoritas (golongan yang tidak membawa meja lipat). Awalnya memang agak kikuk karena merasa berbeda, tetapi saya memberikan dorongan semangat dan memberi rasional bahwa tanpa meja pun ia masih dapat mewarnai menggunakan buku pelajaran (pagi-pagi sekali saya harus ke komunitas dan ia harus ikut, sarapan di luar akhirnya diikuti oleh belajar di tempat sarapan). Ia, yang terbiasa dengan penjelasan tentang beragam hal, pun mulai merasa tenang. Selama lomba, tentu tidak saya temani; pamit ketika beranjak dari area lomba harus dilakukan agar ia tahu bahwa saya akan kembali ke area tsb ketika lomba akan berakhir. Lancar.
Pengumuman lomba pun dilakukan, berjarak 1,5 jam dari berakhirnya lomba. Namanya tidak juga disebut, pertanda tidak memenangkan apa pun. Kami pun berpandangan, “Tidak apa-apa ya, bu. Yang penting aku sudah berusaha” ujarnya sembari tersenyum tipis. Saya tahu ia kecewa, tetapi ia juga tahu bahwa ia telah melakukan yang ia bisa ketika lomba. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena dunianya masih akan baik-baik saja meski tidak menang kali ini.
Lantas, apakah kemudian dengan tulisan ini saya jadi mengklaim bahwa cara saya berkomunikasi dan mengajarkan hidup kepada keponakan saya adalah cara yang benar dalam proses parenting? Tentu tidak. Setiap individu pasti berbeda sehingga masing-masing memiliki gaya yang unik untuk belajar dan memahami sesuatu.
Penting pula untuk manusia yang berusia lebih tua dari anak untuk selalu memberikan penjelasan untuk segala yang terjadi atau segala yang dilarang atau dianjurkan kepada anak. Tidak kalah penting, berikan contoh yang baik pula atau yang sesuai dengan apa yg dianjurkan kepada anak. Sering kali, sibuk mengatur anak, tetapi ketika orangtua dihadapkan pada peraturan justru menentangnya di depan anak. Sekali lagi, anak adalah cetakan dari orang yang berusia lebih tua yang berada di sekitarnya; mewawas dirilah jika anak menunjukkan perilaku yang tidak berterima.
parenting
lomba mewarnai
aktivitas anak
peraturan
contoh bagi anak