Pagi tadi, ada seorang teman kerja yang memposting sebuah ungkapan yg membuat saya bertanya2, apa gerangan cerita di balik ungkapan tersebut.
Yang lebih menyedihkan dr menunggu adalah saling menunggu tapi tidak saling tahu. Benar sekali sepertinya. Ungkapan tersebut membawa saya ke masa lalu ketika saya masih kuliah.
Ada seorang teman pria yg akhirnya menjadi sahabat saya. Orangnya pendiam, susah dekat dgn orang lain karena memiliki dunianya sendiri yg jarang dipahami dan disukai oleh org lain, cukup rupawan dengan rahangnya yang tajam, suka membaca, suka musik indie, tatapan matanya tajam dan selalu berfokus pada org yg sedang diajaknya mengobrol, rendah diri, senyumnya cukup menawan, badannya tinggi, suka merokok, suka bersenandung dan suaranya lumayan merdu, dan sahabat yg baik. Di awal persahabatan kami, dia berkata “kita akan benar2 menjadi sahabat, ya. Tidak ada yg namanya suka, kita tidak boleh saling jatuh cinta.” Dan saya menyetujuinya.
Kami menjadi sangat dekat. Kami saling berbagi cerita kehidupan kami yg selama ini tersimpan rapat, tidak dapat dibagi dengan orang lain. Sering kali saya mengajaknya utk berkenalan dgn sahabat saya yg lain agar ia dapat melatih kemampuan sosialisasinya. Lambat laun, ia membaik, tidak lagi merasa gugup ketika bertemu org baru dan dapat memulai percakapan secara luwes. Kebiasaan merokoknya lambat laun berkurang hingga bisa tidak merokok selama seharian. Ia belajar menjadi pribadi yg dapat diterima dan menerima orang lain. Dan saya menjadi orang yg dapat dia percaya dan manjakan.
Setelah beberapa tahun, saya mulai merasa ada yg aneh di dirinya. Setiap hari dia menelpon saya, kadang tidak berkata2, sepertinya hanya ingin merasa ada di dekat saya setiap waktu. Terkadmeg menyanyikan sebuah lagu dengan suara bassnya, lagu cinta. Entah apa yg sedang ia rasakan.
Pernah mendengar pernyataan bahwa perempuan lebih pandai dlm memahami perasaan seseorang sehingga ia lebih peka thdp cinta, sedangkan pria kurang pandai memahami dan membaca perasaan sehingga harus diberi tahu secara langsung ttg perasaan? Well, it doesn’t work that way for me. I mean, gosh, I’m not a psychic, I can’t read his mind! Setiap orang harus mengatakan apa yg dirasakan thdp orang lain, tentunya secara asertif ya.
Singkat cerita, saya membiarkan tingkah aneh sahabat tersebut selama beberapa waktu. Saya sibuk dengan berbagai macam kegiatan kemahasiswaan dan kuliah. Hingga tiba datangnya bulan februari. Fyi, I do love chocolate but I don’t expect someone would come to me early morning on February to give me chocolates. Nggak tepat di tanggal 14 siy, tapi tetap saja “pesan” yg tertulis di kemasan cokelat itu berbau cinta.
Akhir cerita, saya tetap tidak memahami apa pun karena tidak ada pernyataan yg disampaikan olehnya. Ia tetap tidak menyatakan perasaannya kepada saya secara langsung, melainkan menyatakan ke adik saya bahwa selama ini dia mencintai saya (which doesn’t change anything, at all). Ia menjauh dan menghilang dari saya. Hingga saat ini.
Perasaan yg tidak diungkapkan pada saat yg tepat akan menjadi perasaan yg terendapkan. Mungkin, jika saat itu dia mengungkapkan perasaannya, kami tidak lagi menjadi sahabat, melainkan pasangan. Mungkin, jika dia tidak menunda pernyataannya, saya memiliki perasaan yg sama. Kami, saling menunggu, tetapi tak saling tahu.
Namun, ada kemungkinan juga bahwa saya akan langsung mengambil langkah seribu untuk menjauh darinya.
Xoxo,
B
*mengingat kembali, merindu sahabat itu.
Posted from WordPress for Android