Saya termasuk ke dalam golongan orang yang jarang menggunakan gojek sebagai sarana transportasi alternatif. Mengapa? Dulu, waktu tarifnya masih flat, saya merasa tidak enak jika menggunakan gojek untuk mencapai suatu tempat yang jauh karena rasanya tidak pantas membayar dengan tarif tersebut (sepertinya IDR 15,000 waktu itu). Sedangkan, kalau bepergian jarak dekat, sepertinya lebih baik naik angkot atau transjakarta saja. Sampai hari ini juga hanya menggunakan gojek jika harus sampai di tempat tujuan dalam waktu singkat.
Kebetulan, Kamis lalu, seperti biasa, saya latihan paduan suara di Gedung Pusdiklat Kemlu (dekat Senayan City deh pokoknya). Pulang sekitar jam 9 lewat dan saya harus mengejar kereta ke Depok. Memutuskan untuk naik gojek, tetapi aplikasi gojek di gawai saya ternyata bermasalah sehingga saya meminta teman saya (laki-laki) untuk memesankan.
Sesampainya di tempat janjian dengan pengemudi gojek, saya membeli roti dulu agar mendapatkan uang dengan nominal yang lebih kecil. Pas sekali, ketika keluar, sudah ada pengemudi gojek. Sepertinya seusia saya, laki-laki yang berwajah lumayan tampan dan berkulit putih, oh, plus wangi juga. Namun, seperti biasa, saya tidak pernah mempedulikan tampilan dan merasa lega karena tidak ada aroma tubuh yang mengganggu indera penciuman saya. Jadi, off we go.
Selama perjalanan, dia bercerita tentang pengalamannya selama menjadi pengemudi gojek. Mulai dari coba-coba jam kerja gojek (bebas kan ya jam kerja mereka) karena kurang suka bekerja ketika jalanan macet hingga cerita tentang pelanggan-pelanggan yang ada di jam-jam tertentu (dini hari adalah waktunya pelanggan yang baru selesai clubbing).
Ada cerita yang menarik tentang pelanggan yang gay. Sebenarnya, topik tersebut sempat melintas di otak saya, tetapi enggan saya tanyakan karena gak enak. Mulailah dia bercerita bahwa dia hampir menurunkan pelanggan di tengah jalan karena merasa tidak nyaman. Pelanggan tersebut memeluk pinggangnya secara amat erat yang kemudian berlanjut hingga menyentuh area paha, hampir ke area pribadinya. Padahal segala daya upaya sudah dikerahkan, mulai dari mengajak ngobrol hingga membawa motor dalam kecepatan tinggi. Akhirnya, ketika melewati Kantor salah satu angkatan, dia berkata “mas, tau kan itu apa? Itu tempat dinas angkatan. Nah, abang saya bekerja di tempat itu. Kalau saya merasa terganggu, saya bisa aja melapor ke abang saya. Lalu, pasti orang yang mengganggu saya itu akan dicari.” Dan, cara itu berhasil. Pelanggan tersebut melepaskan tangannya dari tubuh pengemudi gojek dan mereka sampai di tempat tujuan tanpa masalah.
Hari ini, saya naik gojek lagi dari kampus Universitas Pajajaran (unpad) menuju Terminal Bus Leuwi Panjang. Lain padang, lain belalang. Di Bandung ternyata hanya ada gojek, grab bike belum ada. Lalu, di Bandung, kita tidak menemukan atribut gojek, bahkan helmnya pun tidak. Ketika saya bertanya tentang alasannya, Bapak Gojek menjawab bahwa kondisi lingkungan ojek di Bandung belum kondusif untuk pengemudi gojek. Sering kali terjadi pertikaian antara pengemudi gojek dengan pengemudi ojek pangkalan. Bandung Timur menjadi tempat yang sangat dihindari oleh pengemudi gojek. Bahkan, layanan pesan makanan pun dijadikan bahan keributan oleh pengemudi ojek pangkalan.
Dari Bapak Gojek di Bandung, saya mendapat informasi bahwa mulai bulan Maret (kalau tidak salah ingat ya), semua pengemudi gojek harus memakai atribut gojek. Kalau tidak memakai atribut akan diberi sanksi. Sepertinya perlu ditinjau ulang oleh manajemen gojek, mengingat “medan pertempuran” di Bandung cukup sengit. Jalan keluar yang dapat menguntungkan bagi pengemudi dan manajemen tentunya akan lebih melegakan.
Padahal, menurut saya, Bandung memerlukan banyak pengemudi aplikasi ojek. Mengapa? Karena Bandung sudah semakin macet dan adanya gojek dapat mempermudah wisatawan untuk menuju tempat rekreasi (tidak harus ribet dengan salah jalan, rute angkot, dan macet).
Thanks, Gojek
B