Dia di Sana

Dia, salah satu orang yang dipertemukan denganku oleh Tuhan. Singkat saja, kebersamaan raga kami hanya sebulan, itu pun tidak penuh dan tidak sadar tentang rasa yang menyusup diam-diam yang menciptakan hangat yang nyaman.

Pun ketika berpisah, kami memilih untuk saling melepaskan, meski sempat terus berkabar. Ikatan, bukanlah apa yang kami cari, meski memimpikan ujung bersama dan terikat. Namun, proses menuju akhir bukanlah ikatan yang sesuai dengan kondisi kami yang terpisah jauh.

Maka dimulailah perjalanan yang terpisah. Bukannya tidak masalah karena rasa tetap ada, tetapi memang itulah jalannya. Sempat juga melihatnya dekat dengan sesorang sehingga aku memutuskan untuk tidak lagi menghubunginya, khawatir malah mengganggu hubungan barunya.

Empat tahun berjalan, akhirnya kami kembali berkomunikasi. Tetap senang dan lega karena akhirnya bertemu kembali. Ketika ia tanya mengapa saya tidak pernah menghubunginya setelah sekian lama (ia terkadang mengirim chat, sewaktu-waktu), saya tentu saja membahas tentang postingan fotonya beberapa waktu lalu dan dugaan bahwa ia sedang dekat dengan seseorang. Come to my surprise, dia terlihat kaget dan langsung bertanya “Which picture is that? Can you show me? After that, I will tell you the whole story”. As if penjelasan harus dia berikan  kepadaku. Bagiku, tidak menjadi masalah karena toh tidak pernah ada apa-apa setelah kami berjalan sendiri-sendiri.

Akhirnya, kukirimkan foto tersebut dan ia mengakui bhw ia memang sedang dekat dengan org tsb waktu itu, tapi sekarang sdh tidak. “I’m perfectly okay with that” ujarku setelah ia menjelaskannya dengan cepat.

Demikian percakapan kami, yang diikuti oleh satu percakapan lain setelahnya.

Namun, sepertinya karena hal tersebut, hingga saat ini ia tidak lagi memposting dirinya bersama orang lain. Mestinya, tidak perlu begitu, karena aku tidak pernah menunggu pun keberatan jika ia menjalin hubungan dengan orang lain. Aku hanya merasa tidak enak jika terus menjalin komunikasi jika ia telah memiliki pasangan.

Semoga terang jalanmu dan dapat melangkah bersama seseorang yang seirama serta sejalan denganmu. Sehat selalu dan berbahagialah dengan apa atau siapa pun yang dipertemukan Tuhan denganmu.

Sekelumit kisah

Orang yang kemudian merasa lelah setelah bertemu banyak orang, tapi persona yang ada di kepala setiap orang adalah orang yang senang mengumpulkan orang-orang untuk bersama-sama melakukan sesuatu yang menyenangkan seperti berkumpul santai.

Sepertinya begitulah saya di mata mereka yang saya sebut teman. Sementara, mereka yang saya sebut sahabat, belakangan mulai memahami saya dan meminta untuk bertemu hanya berdua saja. Bukan karena tidak menyukai sahabat lain yang berada di satu kelompok, tetapi lebih nyaman dan memahami bahwa saya terlalu lelah kalau harus bersama dengan 2 orang lain atau lebih.

Teman-teman ini selalu saja menyuruh saya yang mengumpulkan orang (atau teman-teman lain) karena menganggap semua orang kenal dan dekat dengan saya. Namun, memang demikian adanya. Mungkin karena saya jarang sekali membedakan orang ketika berteman, kecuali jika jahat atau tindak-tanduknya ndak baik. Buat apa pulak yang seperti itu terus dipertahankan berada di dekat saya, yang ada habis energi karena terlalu emosi. Saya cukup beruntung, saya rasa, karena observasi awal ketika bertemu seseorang dapat membantu saya “melihat” seperti apa orang itu; yang pada akhirnya menjadi modal dasar untuk berkenalan dan mengobrol. Akhirnya, yaaa tentu dapat akrab (most of the time).

Pada banyak kesempatan, saya tidak keberatan untuk mengumpulkan orang. Namun, kadang kala, saya ingin berada di pihak “orang yang dikumpulkan”, bukan sebagai “pengumpul”. Lelah lho membuka percakapan lantas mengajak orang lain, belum lagi kalau ditolak, duh, capek banget. Oleh sebab itu, radar diperkuat, orang yang dirasa tidak akan ikut, yaaa tidak saya tawari dari awal. Lumayan menghemat energi lah..

Persona lain yang mungkin muncul adalah suka melucu dan menghidupkan suasana. Kalau ini siy gara-gara mulut saya yang kelewat jujur dan suka geregetan kalau ada yang salah. Yaaa gapapa lah, karena kadang kalau lagi nyindir kan kedengerannya kaya lagi ngelucu; dosa berkurang, pahala datang 😌 *ngarepnyagitu

Masih banyak persona lain, yang kadang memunculkan “saya” yang berbeda bagi tiap individu yang pernah bercengkerama dengan saya. Ndak masalah, saya hanya menampilkan apa yang berterima bagi mereka. Namun, sahabat dan saudara terdekat pasti tahu mana “saya” yang sebenarnya; karenanya, pada mereka lah saya benar-benar pulang dan utuh.

Perpisahan

Mulainya dari mana ya?

Begini, pengalamanku tentang menjatuhcintai dan dijatuhcintai sebenarnya tidak banyak. Sebagian besar bahan puisi pun diperoleh entah dari foto, cerita teman, atau malah drama Korea.

Orang yang benar-benar menyatakan diri menjatuhcintaiku hanya ada 2 orang, ini hitungannya yang benar-benar secara lisan mengatakan di depanku ya.. Dan, ya, keduanya berakhir dengan baik-baik saja. Bukan berakhir karena saling maran atau ada orang ketiga, murni karena memang beda keyakinan dan sebagai orang yang sudah dewasa, kami sama-sama berpegang teguh pada keyakinan kami dan sudah tahu bahwa tidak akan ada yang berpindah. Namun, mengapa lalu dijalani? Ya karena cinta dan kenyamanan, sederhana tetapi tidak sederhana. Cinta adalah kemewahan yang alami, mungkin tidak akan ditemui, karenanya ketika aku menemukannya maka tidak akan kulewatkan begitu saja!

Perpisahan yang baik-baik saja, justru menjadi berat dalam menjalaninya. Mengapa? Karena cinta masih ada di sana, tidak ternoda atau terluka.

Pada orang pertama, sempat aku block semua akses yang dapat menghubungkan kami. Saat itu, aku belum cukup kuat untuk dapat menjalani hari tanpa hadirnya lagi. Namun, akhirnya kubuka kembali block itu. Apa yang terjadi? Tiba-tiba ia meminta untuk bertemu denganku di Jepang, saat itu ia menjadi pembicara dalam bidang yang ia geluti. Padahal semudah itu untuk berangkat karena semua sudah ia urus. Aku tentu menolak, menyadari bahwa dasar perpisahan kami bukanlah sesuatu yang dapat diubah, menyadari bahwa aku masihenginginkannya dalam hidupku, menyadari bahwa bisa saja terjadi hal yang akan membuat masalah baru. Setelah itu, kami berhenti berkomunikasi, menyadari bahwa cinta saja tidak membawa kami ke mana-mana. Hingga saat ini, ia masih setia mengikuti story instagramku.

Pada orang kedua, semua akses komunikasi tetap aktif. Namun, prinsip ketidakterikatan membuatnya membatasi diri untuk berkomunikasi denganku. Ketika berada di sini, ia yang berbeda budaya dan keyakinan, sempat bertanya tentang pernikahan di sini kepada seorang temannya yang menikah dengan orang di sini. Pada saat itu, sepertinya ia sempat terhenyak karena menjadi satu berarti juga satu keyakinan. Hatinya yang masih dipenuhi semangat menggebu ketika baru saja berpindah keyakinan, mungkin terasa berat jika harus menanggalkan keyakinan barunya untuk berpindah ke keyakinan yang kuanut. Tak mengapa, aku pun bukan orang yang suka memaksakan kehendak apalagi keyakinan pada orang lain. Aku yakin bahwa setiap orang memiliki perjalannnya sendiri untuk menemukan Tuhan. Setelah lama mengabaikan pesan pribadiku, beberapa hari lalu ia kembali bersuara dan bahkan menuliskan lirik lagu yang pernah kami nyanyikan bersama saat hujan, empat tahun lalu.

Mungkin memang aku saja yang baper, ketika melihat keduanya di akun media sosialku, lantas saja kenangan yang dulu berkelebatan di ingatan. Betapa mereka dengan keistimewaannya masing-masing membawa kedamaian dalam hari-hariku. Senyuman dan kekhawatiran yang kami bagi, kembali terputar di kepala.

Keduanya turut membentuk diriku yang saat ini ada. Mulai dari melepas duka berkepanjangan hingga menyadari kelebihan diri sehingga aku dapat belajar menghargai dan mencintai diri. Cinta memang tidak sepantasnya dilewatkan, mesti diambil jika Tuhan sudah menuliskannya untuk bersimpangan jalan.

Semoga semuanya dapat terlalui dengan baik. Doaku, selalu, mereka mendapatkan kebahagiaan dan kesehatan di perjalanan selanjutnya.

Lomba Mewarnai dan Karakter Pembentuk Karakter

Sabtu pagi menjelang siang lalu, sebuah lomba mewarnai tingkat TK dan SD diadakan di sebuah pusat perbelanjaan yang sudah lama berdiri di kota kecil. Tidak lagi ramai, beragam lomba anak diadakan dengan tujuan untuk menghidupkan lagi tempat belanja tersebut.

Pendaftaran dapat dilakukan jauh hari sebelum lomba dimulai, tetapi membludaknya peserta di hari H membuat peraturan tersebut gugur. Sekelompok anak telah menempati posisi, tentu ditentukan oleh orangtuanya (terutama ibu). Beberapa pasang anak-orangtua yang datang belakangan pun tampak melompati peserta lain yang sudah lebih dulu datang, berupaya agar mendapat tempat di depan. Saya, tidak terlalu paham tentang posisi tsb; apakah kemudian yang terdepan akan menang? Mungkin orangtua sudah terbiasa dengan “depan berarti prestasi” atau “depan berarti privilese”.

Lucunya, panitia sudah menetapkan batas area yang dapat ditempati anak untuk mengikuti lomba. Orangtua yang sudah datang malah memenuhi area samping, melewati batas penunggu. Apa kiranya alasan mereka? Setelah saya amati, ya beragam; mendokumentasikan anak yang ikut lomba melalui foto atau video, agar selalu berada di dekat anak, mengatur-atur anak (bahkan hingga mengatur di mana pensil harus diletakkan), dan agar dapat melihat anaknya berlomba. Seakan anak tidak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri, padahal ketika diberi instruksi oleh panitia dapat mengikutinya secara tertib. Seolah anak tidak dipercaya dapat mengikuti aturan yang berlaku.

Orangtua-orangtua tsb susah sekali untuk mematuhi peraturan batas area penunggu. Pak satpam yang turun tangan menegur pun hanya dianggap angin lalu. Kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara ibu yang mengatur posisi anak-anak didiknya dan ibu yang tidak mau keluar dari area lomba. Mereka sempat meninggikan suara, pembuluh vena jugular pun tampak menegang di area leher. Duh, runyam sudah. Jam lomba yang diundur akibat ketidaksiapan panitia yang tidak menyangka akan terjadi pembludakan peserta hingga ibu-ibu yang bersitegang menjadi sumber stresor anak-anak yang akan berlomba.

Sepanjang lomba, ibu-ibu yang antusias ini tetap berada di area lomba. Padahal, waktu lomba kurang lebih satu jam. Lumayan untuk melatih kemandirian anak dan membebaskannya dari suara-suara perintah yang menekan kreativitasnya. Sungguh, saya tidak mengerti dengan ibu-ibu itu. Bahkan, ada pula ibu yang membantu anaknya mewarnai, lalu di mana sisi kebebasan anak untuk menjadi kreatif dan memampukan diri menghadapi persaingan secara mandiri? Sampai sini, saya semakin bingung dengan tujuan lomba dan tujuan ibu-ibu mengikutsertakan anaknya dalam lomba

Ekspresi anak-anak pun bercerita banyak. Muka datar hingga ketakutan (ironis memang) membuat beragam rasa negatif menyebar di udara, acara anak-anak yang semestinya menyeruakkan keceriaan lebih terasa seperti dunia kecil persaingan keinginan ibu-ibu terhadap anak. Namun, untungnya, masih ada juga anak-anak yang mengikuti lomba tanpa beban.

Saya? Ketika itu mengantar keponakan yang melihat pamflet pendaftaran lomba beberapa hari sebelumnya setelah kami menonton film di bioskop. Ia antusias sekali maka kenapa tidak? Tanpa membawa meja lipat, ia menjadi salah satu dari 3 anak golongan minoritas (golongan yang tidak membawa meja lipat). Awalnya memang agak kikuk karena merasa berbeda, tetapi saya memberikan dorongan semangat dan memberi rasional bahwa tanpa meja pun ia masih dapat mewarnai menggunakan buku pelajaran (pagi-pagi sekali saya harus ke komunitas dan ia harus ikut, sarapan di luar akhirnya diikuti oleh belajar di tempat sarapan). Ia, yang terbiasa dengan penjelasan tentang beragam hal, pun mulai merasa tenang. Selama lomba, tentu tidak saya temani; pamit ketika beranjak dari area lomba harus dilakukan agar ia tahu bahwa saya akan kembali ke area tsb ketika lomba akan berakhir. Lancar.

Pengumuman lomba pun dilakukan, berjarak 1,5 jam dari berakhirnya lomba. Namanya tidak juga disebut, pertanda tidak memenangkan apa pun. Kami pun berpandangan, “Tidak apa-apa ya, bu. Yang penting aku sudah berusaha” ujarnya sembari tersenyum tipis. Saya tahu ia kecewa, tetapi ia juga tahu bahwa ia telah melakukan yang ia bisa ketika lomba. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena dunianya masih akan baik-baik saja meski tidak menang kali ini.

Lantas, apakah kemudian dengan tulisan ini saya jadi mengklaim bahwa cara saya berkomunikasi dan mengajarkan hidup kepada keponakan saya adalah cara yang benar dalam proses parenting? Tentu tidak. Setiap individu pasti berbeda sehingga masing-masing memiliki gaya yang unik untuk belajar dan memahami sesuatu.

Penting pula untuk manusia yang berusia lebih tua dari anak untuk selalu memberikan penjelasan untuk segala yang terjadi atau segala yang dilarang atau dianjurkan kepada anak. Tidak kalah penting, berikan contoh yang baik pula atau yang sesuai dengan apa yg dianjurkan kepada anak. Sering kali, sibuk mengatur anak, tetapi ketika orangtua dihadapkan pada peraturan justru menentangnya di depan anak. Sekali lagi, anak adalah cetakan dari orang yang berusia lebih tua yang berada di sekitarnya; mewawas dirilah jika anak menunjukkan perilaku yang tidak berterima.

parenting

lomba mewarnai

aktivitas anak

peraturan

contoh bagi anak

Gemar Film Pendek #11

Jangan bilang aku gila!

Film pendek pertama yang mengawali rangkaian “Gemar Film Pendek #11” hari Minggu lalu. Film ini terlewatkan, karena saya terlambat datang. Sekilas, dari diskusi yang dilakukan di akhir sesi, saya mengetahui bahwa film ini merupakan film dokumenter berlatar sebuah pesantren untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Di tempat tersebut, ODGJ yang sudah melewati masa amuk (melakukan kekerasan), dipersilakan untuk berinteraksi secara bebas di lingkungan sekitar pesantren. Salah satu ODGJ bahkan mencari jalan pulang sendiri, tetapi tidak bisa dan akhirnya kembali lagi. Pak Ghofur menjadi pembimbing di tempat itu.

Kulihat Tamanku.

Berdurasi sangat singkat dengan satu pemeran utama yang sedang berbicara dengan “tokoh lain” yang ditampilkan dalam bentuk tulisan pada layar tanpa suara. Bagi saya, film ini melukiskan betapa riuhnya obrolan di dalam pikir ODGJ dengan halusinasi dengar yang dialaminya. Sebegitu ramai taman pikirnya, tetapi tampak sunyi bagi kita sebagai orang lain yang menyaksikannya.

Wabah.

Film ketiga ini diawali dengan seorang perempuan yang dititipi kucing oleh pacarnya. Kemudian, cerita bergulir ke teman kerja si perempuan yang kehilangan saudaranya yang kemudian dibiarkan saja karena sudah menemukan jalan buntu. Pada suatu ketika kucing sakit parah sehingga harus dirawat, dengan biaya yang sepertinya tidak sanggup ditanggung oleh si perempuan. “Katanya lo tau tempat membuang kucing yang bikin dia gak bisa kembali lagi. Gw mau ngebuang kucing ini, nyusahin soalnya.” ujar si perempuan ketika minta diantarkan oleh teman kerjanya.

Jika ditilik, pembuangan kucing karena menyusahkan ini mungkin merupakan analogi dari pembuangan ODGJ yang kerap terjadi karena dirasa menyusahkan atau merepotkan orang yang mengurusnya (caregiver).

Lonely Planet.

Mengisahkan tentang seorang siswi SMA yang memiliki sedikit pengikut di Twitter. Hidupnya terasa begitu sepi karena setiap hari Twitternya sepi pengunjung. Langkah awal dimulai, ia mulai googling tentang akun perempuan mana saja yang banyak diikuti dan disukai netizen. Tara!! Ketemu deh akun2 perempuan yang berbahasa vulgar dan banyak membahas tentang hubungan seksual. Ambil foto orang lain yang dirasa cukup seksi, ditirulah beragam kata vulgar nan erotis sehingga akhirnya akun Twitter barunya diikuti dan disukai oleh banyak orang. Konten dan beragam balasan dibuat setelah beribadah, sambil makan, sambil menonton televisi, seolah hal tersebut lumrah saja terjadi. Tercapai sudah keinginannya!

Rundung.

Seorang pria berprofesi desainer grafis menjadi tokoh utama. Keluhan klien yang terus-menerus merongrong, teman sekamar yang terus menghina desainnya, pacar yang tiba-tiba menikah karena dihamili orang lain, rasa penat dan stres yang tak kunjung reda, dan postingan serta komentar orang lain di media sosial yang selalu negatif terhadap dirinya; semuanya dialami setiap hari oleh tokoh utama. Sampai akhirnya ide bunuh diri menghampiri. Sialnya, ia mengutarakan keinginan bunuh diri pada orang yang salah, teman sekamar yang selalu melakukan kekerasan verbal dan psikis kepadanya. “Hah? Bunuh diri? Bunuh kecoa aja lo ga sanggup!” ujar teman sekamarnya ketika si tokoh utama mengutarakan keinginannya untuk bunuh diri.

.

.

Semua film pendek tersebut membawa kita pada kewaspadaan terhadap gangguan jiwa atau mental health awareness. Membangun kesadaran tentang bagaimana memahami ODGJ sehingga kemudian menyadari cara apa saja yang dapat dilakukan untuk membantu ODGJ agar mampu mandiri dalam kehidupan.

Semua hal yang dianggap kecil atau biasa, seperti candaan kasar, merupakan hal yang besar bagi mereka yang mengalami gangguan jiwa. Berhati-hatilah dalam berkata-dan dan bertindak. Setiap orang mengalami beragam tantangan setiap harinya, yang kemudian membedakan adalah cara dan keberhasilan menghadapi tantangan tersebut.

Apakah gangguan jiwa selalu berupa Skizofrenia atau tingkah laku yang dianggap aneh (seperti berbicara sendiri, amuk)? Tidak. Stres yang dialami oleh sebagian besar manusia pun dapat disebut sebagai gangguan jiwa. Stres yang kemudian menumpuk dan tidak terselesaikan dapat berkembang menjadi gangguan jiwa yang lebih serius.

Komunikasi menjadi salah satu cara untuk membantu kita dalam mengatasi stres. Bertemu secara langsung kemudian mengobrol, bagi sebagian orang dapat melepaskan beban pikirannya. Sementara beberapa yang lain mungkin lebih memilih untuk menuangkan beban pikirannya pada tulisan, lagu, atau lukisan. Pilihlah cara yang cocok untuk diri, luangkan waktu untuk melakukannya.

Profesional gangguan jiwa atau layanan kesehatan terdekat yang dilengkapi oleh psikolog atau psikiater dapat menjadi tempat untuk memperoleh bantuan.

Hubungan dan harapan

“Pagi ini kau merebahkan kepalamu di pangkuanku, kemudian memintaku membacakan sebuah buku. Jadi, kutaruh buku yang sedang ku baca dan mulai membuka halaman buku yang kau berikan. Lalu, kau mulai memejamkan mata dan menikmati suaraku. Aku pun mulai masuk ke dalam buku itu. Sebuah buku yang tidak terlalu tebal, berhalaman depan tebal, dan mengisahkan tentang kehidupan.Tak berapa lama, kau tertidur. Dan, aku semakin serius membaca, hingga setengah jam kemudian menyadari kau telah pulas. Aku mulai mengelus kepalamu, menyusuri rambutmu dengan jariku. Kemudian mengingat kembali hal-hal kecil yang membuat kita dapat bersama hingga hari ini. Ingatkah kau saat pertama kali kita bertemu? Kegugupanmu bertemu dengan kecuekanku. Kali kedua kita bertemu, kau mulai merasa nyaman. Pertemuan-pertemuan berikutnya, kau sudah menjadi dirimu sendiri di depanku, sepertinya mulai mengikuti kecuekanku. Aku mulai mengikuti caramu menjalankan kewajiban kepada Tuhan dan menanamkan pentingnya untuk selalu mendahulukanNya. Mencari tempat ibadah yang dulu selalu terlewati begitu saja. Kita berlomba untuk menjalankan tambahan ibadah lain. Tidak ada yang lebih menenangkan dibanding menemukan seseorang yang membuatmu lebih dekat dengan Sang Pencipta. Saat ini, hidupku tenang dan damai. Melihatmu bergandengan tangan dengan anak kita menuju ke tempat ibadah. Mengajarkan beberapa hal tentang kehidupan kepada mereka dengan cara yang bersahabat. Dan kita mendiskusikan segalanya tentang mereka dan kita. Betapa bersyukurnya aku melihat kerutan-kerutan di wajah yang merupakan rekam jejak kehidupan kita, yang terbentuk akibat banyaknya tawa dan tangis bahagia. Dan, wajahmu kini menampakkan kedamaian yang semoga akan terus dapat aku tatap sampai akhir hayat. Di taman ini, kita bersama. Memandang langit yang sama. Lucu, tiap dua minggu sekali kita selalu melakukan ritual ini, piknik dan membaca buku bersama di taman. Sesuatu yang kita sepakati bersama untuk dilakukan. Anak-anak kita turut meramaikan suasana, berlarian di rumput dan saling berkejaran. Beristirahatlah sayang, akan tiba giliranmu nanti malam membacakan dongeng untuk mereka.”

Kemarin secara tidak sengaja, menemukan ini di lini masa media sosial saya. Berasal dari tahun 2015, sudah cukup lama. Indah memang beberapa tulisan saya tentang cinta, tetapi bukan tidak mungkin segala angan dan harapan berubah menjadi mimpi buruk di siang bolong.

Beragam hal dapat menjadi penyebab dari hal buruk yang terjadi dalam hubungan. Mulai dari lama waktu perkenalan, gagal mengenal pasangan, keluarga pasangan, sikap posesif, hingga ketidakcocokan dalam prinsip hidup. Semua hal yang dikira dapat dilalui bersama setelah mengesahkan hubungan, ternyata ketika dijalani malah membuat diri merasa tertekan.

Lantas, apa yang kemudian harus dilakukan setelah semuanya terlanjur dijalani? Saya rasa, pertama harus membenahi komunikasi. Ada hal yang sebelumnya tidak tersampaikan atau tersampaikan dengan cara yang tidak baik. Wajar adanya ketika emosi tidak lagi dapat dikendalikan kemudian diikuti oleh luapan secara verbal, banyak kata yang semestinya tidak terlontar dan berakhir dengan saling menyakiti. Belakangan, saya menyadari hal ini dan memilih untuk diam serta menjauh dari subjek kemarahan agar saya dapat meredakan emosi sembari berpikir secara lebih jernih.

Selanjutnya, bicarakan semuanya. Tanpa kepura-puraan, tanpa menyakiti, tanpa emosi. Diskusikan, apakah ada jalan yang baik bagi pihak yang terlibat. Ketika perjalanan yang dilalui bersama sudah sampai di titik ini, sepertinya kita sudah dapat mengenali pasangan kita secara lebih baik. Gunakanlah dalam berkomunikasi.

Jika memang tidak menemukan jawaban ketika berbicara berdua, mungkin dibutuhkan bantuan dari profesional. Konsultan perkawinan mungkin atau psikolog. Cari bantuan yang dibutuhkan, kunjungi, dan disiplin dalam menjalani terapi pasangan.

Segala cara sudah dicoba, lalu tetap tidak dapat melaluinya bersama? Mungkin, berpisah sementara dapat membantu. Jika kemudian berpisah selamanya menjadi jalan terbaik bagi semua pihak, ingat kembali masa bahagia yang pernah dijalani bersama.

Kita harus dapat mencintai diri sendiri agar dapat memilih mana yang terbaik bagi diri. Pikirkan kembali apa yang penting bagi diri. Setelah itu, buat keputusan! Jangan biarkan semua berlarut-larut tanpa kepastian.

Perkara Mati

Siang lalu, di tengah percakapan yang biasa saja via media sosial, salah satu teman saya berkata “Rasanya aku ingin terus memejamkan mata. Selamanya.” Keinginan yang tersurat, begitu jelas dan singkat. Out of nowhere, for me.

Siang yang lain, pesan dari teman yang lain tiba, isinya “Aku merasa tdk berguna. Semua orang lebih hebat. Semua orang tdk punya masalah yg kupunya. Lebih baik mati aja kali ya.” Pernyataan itu muncul setelah ia bercerita cukup panjang terkait kehidupannya.

Siang yang lain lagi, dr teman yg berbeda pula.. “Rasa2nya, aku sudah cukup lelah utk hidup hari demi hari, bulan demi bulan. Menghadapi susah yang tak henti. Tidak ada yg mengerti. Kadang, ketika berada di jalan raya, aku berharap mengalami kecelakaan dan mati seketika. Terbebas dari dunia dan berbagai belenggunya.”

Saya hanya termenung dan kemudian meneteskan air mata. Bayangan kehilangan teman yang dekat dgn saya sudah mampu membendung simpanan air mata saya.

Saya hanya mampu mendengarkan dan membaca setiap cerita mereka. Sementara untuk menyalahkan atau membenarkan, rasa2nya tdk tepat karena saya tdk mengalami apa yg mereka alami. Memberi solusi pun rasanya tak tepat karena banyak hal yg blm dan tdk akan saya pahami. Masalah yg sama sering kali dipersepsikan secara berbeda oleh beberapa orang.

Berkata bijaklah, seperti “Kamu lebih beruntung dari si anu; seharusnya kamu lebih sering beribadah; kamu.. kamu..” kata beberapa org. Namun, apa iya kalimat tersebut berpengaruh thdp mereka2 yg berkeinginan untuk mati?

Setelah mendengarkan, biasanya secara spontan saya akan langsung bilang “Kamu jangan mati. Aku rasanya sdh tdk sanggup menghadapi kematian orang2 terdekat. Aku akan sangat kehilangan.” Entah didengar atau tidak. Saya memang egois, dalam kalimat itu pun tersurat.

Hiduplah.. Setidaknya buat saya, setidaknya untuk saat ini, setidaknya…

Percakapan dengan Kartini (2)

Ni, semalam ada yang sedih karena baru mengetahui bahwa kau telah tiada. Anak keriting yang tidak berhenti membuatku terkagum-kagum ini kembali membuatku terhenyak. Sudah 3 hari belakangan ini dia menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini, aku cuma menganggapnya hal biasa karena memang setiap tahun hari lahirmu dirayakan dengan parade baju tradisional dan dandanan tebal di muka anak-anak piyik.

Tahukah kau, Ni, dugaanku salah. Anak keriting yang baru mulai lancar membaca itu ternyata juga sedang memahami makna tiap kata yang ia temukan. Aku memang pelupa, beberapa hari lalu ketika belajar membaca, ia sempat menanyakan arti dari kata yang ia baca. Ketika menyanyikan lagu tentangmu, rupa-rupanya ia juga menelaah tiap kata-katanya.

Malam tadi, seusai menyanyikan lagu tentangmu secara lengkap, ia mulai bertanya “Bu, Ibu Kartini itu sekarang ada di mana?”. Aku mendadak kaget, kemudian menjawab “Ibu Kartini sudah ndak ada, beliau sudah meninggal”. Raut muka anak itu berubah sedih, menautkan kedua alisnya, memonyongkan bibirnya, dan matanya mulai menyorotkan kesedihan karena ditinggal oleh orang yang dikenalnya.

Aku tercekat, Ni. Anak ini tampak ingin sekali menemuimu dan berbincang tentang banyak hal denganmu. Kiranya, hal tersebut menjadi dambaan setiap perempuan di negeri ini, aku juga! Namun, mungkin aku akan malu karena belum berbuat banyak bagi negeri.

Tidak mau kesedihan anak itu berlarut-larut, kujanjikan untuk bercerita tentangmu sebelum ia tidur. Biasanya selalu dongeng, tapi kali ini tentangmu, tentang perempuan hebat yang bersikeras memberikan pendidikan bagi kaumnya.

Ia menagihnya sesaat sebelum tidur, kukira ia lupa. Maka kuceritakan semua tentangmu, baiklah, tidak semua, sebagian saja dan menggunakan bahasa yang ia mengerti. Beberapa kata yang belum ia pahami turut kugunakan dan kujelaskan artinya. Ia mendengarkan secara khidmat, bertanya ketika ingin mengetahui lebih jauh dan mempertanyakan kondisi saat itu. Semoga saja ceritaku tertanam di ingatannya, semoga saja cita-citamu menancap erat di otaknya. Ia tampak termenung ketika aku selesai bercerita. Mungkin malam ini ia akan kembali bertanya tentangmu, Ni. Aku akan kembali bercerita, kapan pun ia mau.

Good Memories

Ceritanya pagi tadi nyelesain nonton film One Day, iya, film Korea.. Berawal dari meninggalnya seorang perempuan yang adalah istri dr tokoh utama (suaminya). Si suami ini ndak menghadiri acara pemakaman, beralasan sibuk. Padahal yang terjadi adalah dia belum bisa menerima kehilangan. Ketika berada di rumah pun, kamar tidur mereka ditutup rapat. Sebelumnya malah dia tidak bisa masuk ke rumahnya. Rasa kehilangan dan sedih yang teramat sangat membuatnya begitu ingin menghindari hal2 yang mengingatkannya akan sang istri.

Lalu, ia bertemu dengan sesosok hantu wanita yang semasa hidupnya mengalami gangguan penglihatan. Setelah menjadi hantu, malah bisa melihat. Mereka akhirnya berteman dan pokoknya saling mengajarkan hal2 yang baik. Akhirnya tokoh utama dapat membuka kamar yang biasa ditempati bersama istrinya dan memahami bahwa mendiang istrinya tidak perlu dilupakan, berbagai kenangan manis dapat diingat kembali.

Perjalanan proses berduka yang saya lewati, memang berakhir dengan keputusan bahwa saya hanya akan mengingat kenangan manis tentang mereka yang sudah lebih dulu meninggalkan dunia. Lumayan, saya jadi bisa mengenang sambil tersenyum atau kadang tertawa riang.

Mereka yang ada di hati tidak akan pernah kehilangan tempatnya, banyak hal yang telah kami lalui bersama dan tidak sepatutnya kenangan tersebut hilang tanpa jejak layaknya butiran hujan yang hilang menguap.

Seseorang pernah mengingatkan saya dengan berkata “Saya rasa, dia akan lebih senang ketika melihatmu tertawa atau tersenyum ketika mengingatnya, dibanding kamu yang selalu menangis ketika terkenang akan dia.” I guess he’s right.

May you all rest in peace, dear loved ones..